JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa musim kemarau 2025 tidak akan sekering tahun 2023 yang sempat menyebabkan kebakaran hutan dan krisis air di beberapa wilayah.
Prediksi ini didasarkan pada kondisi iklim global yang cenderung netral tanpa pengaruh kuat dari fenomena El Nino, La Nina, maupun Indian Ocean Dipole (IOD).
“Jadi utamanya adalah karena tidak adanya dominasi iklim global seperti El Nino, La Nina, dan IOD, sehingga prediksi kami iklim tahun ini normal dan tidak sekering tahun 2023 yang berdampak pada banyak kebakaran hutan.”
“Musim kemarau tahun 2025 cenderung mirip dengan kondisi musim kemarau tahun 2024,” jelas Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, dalam rilis resminya, Jumat (14/3/2025).
Puncak Kemarau 2025
Sementara itu, Plt. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus 2025.
“Puncak musim kemarau 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus 2025,” ujarnya.
BMKG mencatat bahwa awal musim kemarau di berbagai daerah akan bervariasi, dengan sebagian besar wilayah mengalami kemarau sesuai pola normal.
Namun, ada beberapa wilayah yang akan mengalami kemarau lebih awal atau lebih lambat dibandingkan biasanya.
“Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologinya (periode 1991-2020), maka awal musim kemarau 2025 di Indonesia diprediksi terjadi pada periode waktu yang sama dengan normalnya pada 207 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 30%, mundur pada 204 ZOM (29%), dan maju pada 104 ZOM (22%),” tambah Dwikorita.
Adapun wilayah yang diperkirakan mengalami musim kemarau sesuai dengan pola normalnya meliputi Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan Timur.
Lalu Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, sebagian Maluku, serta sebagian Maluku Utara.
Sementara itu, daerah yang mengalami keterlambatan kemarau antara lain Kalimantan bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kemudian Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian wilayah Sulawesi, sebagian Maluku Utara dan Merauke.
Imbauan BMKG untuk Sektor Terkait
BMKG mengingatkan berbagai sektor untuk menyesuaikan strategi menghadapi musim kemarau sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing:
Sektor Pertanian: Petani disarankan menyesuaikan jadwal tanam, memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan, serta mengoptimalkan pengelolaan air guna memastikan hasil panen tetap optimal.
- Sektor Kebencanaan: Daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) diimbau meningkatkan kesiapsiagaan guna mencegah dampak buruk yang mungkin terjadi.
- Sektor Lingkungan: BMKG memperingatkan potensi penurunan kualitas udara, terutama di kota-kota besar, serta kemungkinan suhu panas yang lebih tinggi selama kemarau.
- Sektor Energi: Pemerintah dan industri energi perlu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan dan distribusi air guna mendukung operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), irigasi, dan penyediaan air baku.
- Sektor Sumber Daya Air: Pengelola sumber daya air diharapkan mengoptimalkan sumber air alternatif dan memastikan distribusi air yang efisien agar pasokan air tetap terjaga selama kemarau berlangsung.
BMKG berharap informasi ini dapat dijadikan acuan dalam perencanaan berbagai program, khususnya dalam optimalisasi sumber daya dan mitigasi risiko selama musim kemarau berlangsung.
“BMKG menghimbau agar informasi dalam Prediksi Musim Kemarau 2025 ini dapat dijadikan dasar dalam mendukung program asta cita melalui optimalisasi kondisi iklim sesuai dengan sumber daya di wilayah masing-masing,” tutup Dwikorita.***