JAKARTA – Amnesty International Indonesia mencatat 55 kasus pembunuhan terjadi sepanjang 2024. Dari jumlah tersebut, 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 lainnya dari pasukan gabungan TNI-Polri.
Mengawali 2025, kasus penembakan warga sipil oleh anggota TNI Angkatan Laut kembali menjadi sorotan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyerukan evaluasi besar-besaran terhadap penggunaan senjata api oleh aparat TNI-Polri.
“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Selasa (7/1/2025).
Ia menambahkan bahwa penyalahgunaan senjata api oleh aparat terus berulang tanpa adanya upaya perbaikan dari pimpinan institusi terkait.
“Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat,” tegasnya.
Terkait kasus penembakan warga sipil pada 2 Januari 2025, Usman menilai pelaku harus diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer yang cenderung tertutup dan kurang transparan.
Tak hanya itu, Usman juga turut mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997.
Revisi tersebut, lanjut Usman, harus memastikan pelanggaran pidana umum oleh personel militer diproses melalui peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
“Institusi seperti Polri maupun TNI harus berhenti menggunakan istilah ‘oknum’ ketika ada anggotanya yang terlibat kasus pidana atau pelanggaran HAM. Institusi bertanggung jawab atas tindakan anggotanya, terutama yang melibatkan penggunaan senjata api untuk tindak pidana atau pelanggaran HAM lainnya,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kelalaian institusi kepolisian yang menyebabkan penembakan pada awal Januari 2025.
“Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik,” tutup Usman.