JAKARTA – Gelaran Piala Dunia 2026 yang akan berlangsung di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko pada musim panas mendatang tak hanya menjadi panggung terbesar dalam dunia sepak bola, tetapi juga menyimpan ketegangan geopolitik yang berpotensi mengganggu semangat universalitas turnamen tersebut.
Amerika Serikat dijadwalkan menjadi tuan rumah terbanyak dengan menggelar 78 dari total 104 laga.
Situasi semakin kompleks lantaran keterlibatan pemerintahan Donald Trump dalam ketegangan Timur Tengah, khususnya dengan Iran.
Konflik militer yang dipicu oleh serangan Amerika terhadap sasaran di Iran—di tengah memanasnya hubungan antara Teheran dan Tel Aviv—dikhawatirkan merembet ke ranah olahraga, termasuk Piala Dunia.
Melansir Planetfootball, ini menciptakan bayangan konflik yang sulit dihindari meskipun semangat sepak bola bersifat inklusif.
Kaitan antara ajang sepak bola dunia dan ketegangan politik internasional semakin diperkuat dengan hubungan yang terjalin antara Presiden FIFA, Gianni Infantino, dan Donald Trump.
Bahkan, Infantino disebut-sebut setuju dengan penghapusan pesan anti-rasisme saat Piala Dunia Antarklub di AS.
Hubungan erat ini memunculkan dugaan bahwa keputusan-keputusan FIFA menjelang Piala Dunia 2026 bisa saja dipengaruhi oleh dinamika politik Washington.
Sementara itu, Iran telah memastikan tempat sebagai wakil Asia dalam Piala Dunia 2026, menjadikannya negara keenam yang lolos sejauh ini.
Namun, prospek partisipasi mereka bukan tanpa tantangan. Mengingat preseden pelarangan negara dalam turnamen sepak bola—seperti Rusia karena agresi di Ukraina, serta Yugoslavia akibat konflik Balkan—kemungkinan pengucilan Iran pun kini menjadi perbincangan hangat.
Meskipun belum ada tanda-tanda bahwa Amerika Serikat akan kehilangan status tuan rumah atau dilarang bertanding, kehadiran suporter asal Iran tampaknya bakal terganjal aturan lama.
Iran termasuk dalam daftar negara yang dikenai larangan perjalanan oleh Trump, yang melarang masuknya warga dari sejumlah negara mayoritas Muslim ke AS, baik sebagai pengunjung maupun imigran.
“Republik Islam termasuk dalam pembatasan perjalanan paling ketat bersama Afghanistan, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Libya, Myanmar, Somalia, Sudan, dan Yaman,” lapor Planet Football.
“Warga negara-negara tersebut sepenuhnya dilarang masuk ke AS di bawah kategori visa apa pun, baik sebagai imigran maupun non-imigran.”
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa para pendukung Iran tidak akan bisa hadir mendukung tim kesayangannya langsung di stadion.
Meskipun FIFA mengusung pesan persatuan global, belum jelas apakah pengecualian akan diberikan bagi fans, staf tim, atau pihak terkait lainnya.
Di sisi lain, eskalasi konflik antara Iran dan AS semakin mempersulit FIFA dalam menjaga netralitas dan kontrol penuh atas turnamen ini.***