JAKARTA — Masyarakat Indonesia diminta tetap tenang menyikapi kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang kini mulai diberlakukan terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Meski berpotensi menekan pasar global, dampaknya terhadap neraca ekspor Indonesia dinilai belum signifikan.
Anggota Komisi XI DPR RI Bertu Merlas menyatakan bahwa bea masuk tambahan dari Negeri Paman Sam tidak memberi tekanan besar terhadap volume perdagangan Indonesia-AS, mengingat kontribusi ekspor ke AS tidak begitu dominan dibanding mitra dagang utama lainnya seperti Tiongkok.
“Kalau untuk bea (masuk) impor dari AS sebenarnya tidak terlalu signifikan dampaknya karena volume ekspor ke Amerika Serikat relatif tidak terlalu besar.”
“Tapi yang kita khawatirkan sebenarnya adalah efek domino dari kebijakan tersebut atau sentimen negatifnya ke negara-negara lain,” ujar Bertu Merlas, dalam keterangan tertulis dikutip Parlementaria, Rabu (16/4/2025).
Waspadai Efek Berantai Kebijakan Global
Lebih lanjut, Bertu menekankan bahwa dampak nyata dari perang tarif ini justru berasal dari efek berantai kebijakan global.
Negara-negara yang terdampak tarif AS cenderung akan menerapkan proteksi serupa yang menghambat arus dagang dunia.
Hal ini akan memperlambat ekonomi global dan mendorong investor menahan modal, mengalihkan aset ke tempat aman daripada sektor produktif.
“Apabila terjadi perlambatan ekonomi pada negara-negara yang menjadikan Amerika sebagai pangsa pasar maka negara-negara tersebut juga akan kurang membeli bahan baku.”
“Indonesia adalah eksportir bahan baku terbanyak. Jadi kalau mereka kurang membeli bahan baku dari Indonesia maka komoditas unggulan Indonesia akan turun. Ini yang berdampak pada Indonesia,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Bertu juga mengingatkan bahwa perang dagang AS-China yang terus memanas dapat menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Ketegangan ekonomi dua raksasa dunia itu membuat Indonesia perlu menyusun strategi bijak agar tak terseret ke dalam konflik dagang global.
Politisi Fraksi PKB ini menyebutkan bahwa salah satu langkah antisipasi terbaik adalah dengan memperkuat struktur investasi nasional.
Ia menyoroti potensi Indonesia untuk menjadi tujuan investasi baru jika negara-negara seperti China, Vietnam, atau Bangladesh mulai kehilangan daya saing akibat tingginya tarif bea masuk.
“Jika permintaan pembelian bahan baku menurun maka harga jual akan turun dan berdampak pada harga komoditas bahan baku,” kata Bertu, seraya menambahkan bahwa regulasi yang ramah investasi harus segera dirancang agar Indonesia tidak kehilangan momentum.
Bertu pun mengutip data BPS yang menunjukkan bahwa sejak 2022, struktur ekspor Indonesia ke China mulai beralih dari bahan bakar mineral ke besi dan baja.
Perubahan ini menunjukkan perlunya strategi diversifikasi dan hilirisasi agar ekspor Indonesia tetap kompetitif di tengah dinamika global.
“Ada negara-negara yang mempunyai bea impor tinggi yang bisa membuat investor lari. Mereka bisa saja lari ke Indonesia jika kita mempunyai daya tawar lebih termasuk regulasi yang mendukung,” tegasnya.***