MALE, MALADEWA – Pemerintah Maladewa resmi memberlakukan larangan sementara bagi warga negara Israel untuk memasuki seluruh wilayah negaranya. Kebijakan ini akan terus berlaku hingga konflik di Gaza dan wilayah Palestina lainnya benar-benar mereda.
Larangan tersebut resmi diteken Presiden Maladewa, Mohamed Muizzu, pada Selasa (15/4/2025), setelah undang-undangnya disahkan parlemen.
Langkah Berani Maladewa
Keputusan ini mencerminkan sikap Maladewa sebagai negara berpenduduk 100 persen Muslim yang ingin menunjukkan dukungan nyata untuk Palestina.
“Larangan ini akan diterapkan secepatnya,” ujar juru bicara kantor Presiden Muizzu kepada AFP,
Muizzu menegaskan urgensi kebijakan tersebut. Maladewa, dengan populasi hanya 1.192 jiwa dan 1.129 pulau karang, memang kecil, tetapi langkah ini menarik perhatian dunia sebagai protes terhadap agresi Israel di Gaza.
Menurut data resmi, jumlah turis Israel yang berkunjung ke Maladewa tergolong minim, hanya 59 orang pada Februari 2025 dari total 214.000 wisatawan asing.
Namun, kebijakan ini lebih dari sekadar angka; ini adalah simbol perlawanan terhadap kekerasan di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina sejak Oktober 2023, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sejarah Hubungan yang Tegang
Ini bukan kali pertama Maladewa menerapkan larangan serupa. Pada 1990-an, larangan pernah dicabut, dan upaya normalisasi hubungan dengan Israel sempat dilakukan pada 2010, tetapi terhenti pada 2012. Kini, dengan meningkatnya ketegangan di Gaza, Maladewa kembali mempertegas sikapnya. Tahun lalu, Kementerian Luar Negeri Israel bahkan memperingatkan warganya untuk menghindari perjalanan ke Maladewa setelah isu larangan ini mencuat.
Langkah Maladewa ini juga didorong oleh desakan publik. Anggota parlemen dari Partai Demokrat Maladewa, Meekail Ahmed Naseem, mengajukan RUU larangan ini pada Mei 2024, yang kemudian disahkan dengan cepat.
“Kebijakan ini adalah bukti komitmen kami terhadap perjuangan Palestina,” kata seorang warga Maladewa.
Dampak bagi Pariwisata dan Hubungan Diplomatik
Maladewa dikenal sebagai surga wisata dengan terumbu karang yang memukau dan resor mewah ala Robinson Crusoe. Meski larangan ini hanya berdampak pada segelintir wisatawan Israel 11.000 orang pada 2023 kebijakan ini berpotensi memperkeruh hubungan dengan Israel. Namun, Maladewa tampaknya lebih memprioritaskan solidaritas daripada potensi ketegangan diplomatik.
Menariknya, larangan ini hanya berlaku untuk pemegang paspor Israel. Warga dengan kewarganegaraan ganda masih bisa masuk menggunakan paspor negara lain. Hal ini menunjukkan pendekatan yang cermat untuk menyeimbangkan prinsip dengan kebutuhan industri pariwisata, yang menjadi tulang punggung ekonomi negara.
Solidaritas Global untuk Palestina
Langkah Maladewa ini sejalan dengan sentimen global yang kian kritis terhadap agresi Israel di Gaza. Sejumlah negara, seperti Bangladesh, juga memperketat aturan perjalanan terkait Israel. Bangladesh baru-baru ini memberlakukan kembali klausul “kecuali Israel” dalam paspornya sebagai respons terhadap konflik Gaza.
Sementara itu, laporan internasional terus menyoroti dampak kemanusiaan di Gaza, termasuk serangan Israel yang menargetkan klinik PBB dan rumah sakit, yang memperburuk krisis kemanusiaan.
Larangan masuk ini berlaku hingga perang di Gaza berakhir, menandakan bahwa Maladewa akan terus memantau situasi di Timur Tengah. Bagi wisatawan global, Maladewa tetap membuka pintu lebar-lebar, mengundang mereka untuk menikmati keindahan alamnya sembari menghormati sikap kemanusiaan negara ini. Bagi dunia, langkah Maladewa adalah pengingat bahwa bahkan negara kecil pun bisa bersuara lantang di panggung global.
Dengan kebijakan ini, Maladewa tidak hanya menegaskan identitasnya sebagai negara Muslim, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai destinasi yang berprinsip. Bagaimana dunia akan merespons? Hanya waktu yang akan menjawab.