JAKARTA – Di tengah deru pesawat tempur dan dentuman tembakan, Uday dan Hamza Abu Odah, dua bayi kembar Palestina, lahir pada 2 November 2023 di Gaza—kurang dari sebulan setelah konflik maut pecah pada 7 Oktober 2023. Sejak napas pertama mereka, kehidupan kembar ini direnggut oleh perang dahsyat antara Israel dan kelompok militan Palestina, Hamas, yang dipicu serangan mematikan Hamas di Israel selatan dua tahun lalu.
Kehidupan Uday dan Hamza adalah cerminan tragis dari penderitaan rakyat Gaza. Rumah keluarga mereka hancur, memaksa mereka tinggal di tenda-tenda pengungsian di tepi pantai yang penuh sesak. Ayah mereka tewas saat mencari bantuan, dua saudara mereka terluka, dan kembar ini sendiri kerap kelaparan, sakit, dan hidup dalam ketakutan akan serangan bom yang tak henti-henti. Di sekitar mereka, tangisan warga, teriakan pedagang kaki lima, dan suara mencekam pesawat tempur menjadi latar kehidupan sehari-hari.
Iman, ibu mereka, hanya bisa bermimpi tentang masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya: kedamaian, makanan yang cukup, rumah yang layak, dan pendidikan. Namun, trauma telah mencengkeram Uday dan Hamza. Perkembangan mereka terhambat, dan Iman khawatir, jika serangan Israel berlanjut, generasi baru Gaza akan semakin terluka, baik fisik maupun mental. “Kami takut perang ini takkan pernah berhenti, seolah hanya punya awal tanpa akhir,” ujarnya dengan nada pilu, dilansir dari Reuters, Senin (6/10/2025).
Perjalanan Iman untuk melahirkan kembarannya penuh penderitaan. Ketika kontraksi datang, ia terpaksa berjalan kaki ke Rumah Sakit Al-Nasser di tengah kekacauan perang. Tangga rumah sakit ia daki dengan air ketuban yang sudah pecah, tanpa bantuan medis yang memadai. “Saya berjalan bersama suami saya, tak ada yang membantu,” kenangnya. Di rumah sakit, suara tembakan, prosesi pemakaman, dan tangis dari kamar mayat bercampur dengan jeritan bayi yang baru lahir. “Ada campuran aneh antara sukacita dan duka,” kata Mohammed Salem, fotografer Reuters yang berada di sana saat itu.
Setelah melahirkan, Iman menghadapi tantangan baru. Pasokan susu formula dan popok sangat terbatas karena Israel memutus aliran bantuan ke Gaza di awal perang. Ia berkeliling di bangsal bersalin, meminta susu dari ibu lain yang menyusui. Hanya beberapa jam setelah melahirkan, dengan minimnya tempat tidur, Iman terpaksa berjalan hampir satu kilometer kembali ke tempat pengungsian bersama bayi-bayinya yang baru lahir, masing-masing berbobot 3 kg.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mendukung rencana perdamaian yang diusulkan Presiden AS Donald Trump, yang juga mendapat respons parsial dari Hamas. Namun, hingga kini, belum ada kepastian apakah rencana ini akan mengakhiri pertempuran yang telah merenggut begitu banyak nyawa dan harapan.
Kisah Uday dan Hamza adalah potret kelam dari generasi yang lahir dan besar di tengah perang. Bagi Iman, harapan akan kedamaian adalah cahaya kecil di ujung terowongan gelap, namun pertanyaannya tetap: akankah anak-anaknya pernah mengenal dunia tanpa perang?




