JAKARTA – Ketegangan antara Iran dan Israel di Timur Tengah terus meningkat tajam. Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberi sinyal keterlibatan langsung dengan mendesak Iran menyerah tanpa syarat dan menghentikan program nuklirnya. Trump menyatakan AS akan mengambil keputusan dalam dua minggu ke depan terkait apakah akan terjun langsung ke medan perang atau tidak
Hizbullah Turun Tangan, Dukung Penuh Iran
Konflik yang kian memanas ini memicu reaksi keras dari Hizbullah, kelompok militan berbasis di Lebanon selatan yang dikenal sebagai sekutu setia Iran. Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, dengan tegas menyatakan kesiapan kelompoknya untuk mendukung Iran dalam menghadapi Israel, bahkan jika AS turut campur mendukung zionis.
“Hizbullah akan bertindak secara tepat,” ujar Qassem, seperti dikutip dari Xinhua pada Jumat (20/6/2025). Pernyataan ini menegaskan posisi Hizbullah sebagai bagian dari poros perlawanan bersama Hamas di Palestina dan Houthi di Yaman, yang semuanya merupakan sekutu strategis Iran.
Qassem juga memuji peran Iran sebagai pelindung kaum tertindas dan aktor kunci dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan Lebanon melawan Israel. Ia tak ragu mengecam ancaman AS terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, sambil menyerukan solidaritas negara-negara lain untuk melawan dominasi global dan agresi terhadap Iran.
Serangan Israel Sasar Fasilitas Nuklir Iran
Di tengah eskalasi ini, Israel melancarkan serangan besar-besaran pada Jumat pagi yang menargetkan infrastruktur strategis Iran, termasuk fasilitas nuklir, lokasi produksi rudal balistik, dan berbagai instalasi militer penting. Serangan ini semakin memperkeruh situasi, memicu kekhawatiran akan perang yang lebih luas di kawasan.
Ancaman Perang Regional Mengintai
Keterlibatan Hizbullah dan potensi campur tangan AS menambah kompleksitas konflik yang sudah berlangsung sengit. Dengan aliansi kuat antara Iran, Hizbullah, Hamas, dan Houthi, serta tekanan dari Israel yang didukung AS, situasi di Timur Tengah kini berada di ujung tanduk. Dunia kini menanti langkah konkret AS dalam dua minggu ke depan, yang dapat menentukan arah konflik ini—apakah mereda atau justru meletus menjadi perang regional yang lebih dahsyat.