WASHINGTON, D.C, AS – Pemerintahan Donald Trump membuat keputusan kontroversial dengan memecat ratusan karyawan di Voice of America (VOA) dan beberapa media lain yang didanai pemerintah AS. Langkah ini menunjukkan niat Trump untuk menghentikan operasi media-media yang selama puluhan tahun menjadi alat penting bagi pengaruh Amerika Serikat di dunia.
Hanya sehari setelah seluruh karyawan dirumahkan, para staf kontrak VOA menerima email pemberhentian yang menyatakan bahwa mereka harus segera menghentikan semua pekerjaan dan tidak diizinkan lagi mengakses gedung atau sistem agensi. Email tersebut, seperti dikonfirmasi oleh beberapa karyawan kepada kantor berita AFP pada Senin (17/3/2025), menyebutkan bahwa pemberhentian akan efektif pada akhir Maret.
Staf kontrak, yang merupakan mayoritas tenaga kerja VOA, terutama mendominasi layanan bahasa non-Inggris. Meskipun data terbaru belum tersedia, banyak dari mereka bukan warga negara AS. Sementara itu, staf penuh waktu (full-time) yang memiliki perlindungan hukum lebih kuat tidak langsung dipecat, tetapi dipaksa menjalani cuti administratif dan dilarang bekerja.
VOA: Dari Perang Dunia II Hingga Ancaman Pembungkaman
Voice of America, yang didirikan selama Perang Dunia II, telah menjadi simbol kebebasan informasi dengan siaran ke seluruh dunia dalam 49 bahasa. Misi utamanya adalah menjangkau negara-negara yang minim kebebasan media. Namun, nasib media legendaris ini kini terancam setelah Trump menandatangani perintah eksekutif pada Jumat lalu, yang menargetkan US Agency for Global Media (Badan Media Global AS), induk dari VOA.
Badan tersebut, yang memiliki 3.384 karyawan pada tahun fiskal 2023, telah mengajukan anggaran sebesar US$950 juta untuk tahun fiskal saat ini. Namun, pemotongan besar-besaran ini tidak hanya menyasar VOA, tetapi juga membekukan operasi Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) dan Radio Free Asia (RFA). RFE/RL didirikan selama Perang Dingin untuk menjangkau bekas blok Uni Soviet, sementara RFA bertugas menyediakan laporan ke China, Korea Utara, dan negara-negara Asia dengan media yang sangat terkontrol.
Reaksi Dunia dan Pernyataan Direktur VOA
Direktur VOA, Michael Abramowitz, yang termasuk dalam 1.300 karyawan yang di-PHK, mengungkapkan kekecewaannya lewat pernyataan di akun Facebook pribadinya. “Saya sangat sedih karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun, Voice of America yang tersohor itu dibungkam,” ujarnya, seperti dikutip oleh NPR pada Minggu (16/3).
Abramowitz mengakui bahwa VOA memang membutuhkan reformasi untuk menjadi lebih baik. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan Trump justru menghambat misi VOA dalam menyebarkan berita dan program budaya ke seluruh dunia.
“Ini bukan sekadar masalah pemotongan anggaran, tetapi tentang mengorbankan suara independen yang telah menjadi jembatan informasi bagi jutaan orang di seluruh dunia,” tambahnya.
Dampak Global dan Masa Depan Media AS
Keputusan Trump ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk para aktivis kebebasan pers dan mantan pejabat AS. Mereka menilai langkah ini tidak hanya merugikan VOA, tetapi juga melemahkan posisi AS sebagai pembela kebebasan informasi di mata dunia.
Dengan dibungkamnya VOA dan media-media sejenis, banyak yang khawatir bahwa ruang informasi global akan semakin sempit, terutama di negara-negara dengan rezim otoriter. Sementara itu, masa depan ribuan karyawan yang di-PHK masih belum jelas, menambah daftar panjang kontroversi yang melingkupi pemerintahan Trump.