JAKARTA — Sebuah sindikat besar Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang beroperasi di wilayah perbatasan Kalimantan Utara berhasil diungkap aparat terkait.
Tak kurang dari 82 orang korban, yang sebagian besar berasal dari kelompok rentan, berhasil diselamatkan dari ancaman eksploitasi lintas negara.
Pengungkapan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah akan urgensi perlindungan migran non-prosedural.
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Nunukan, Faridah Aryani, mengonfirmasi bahwa para korban saat ini tengah menjalani proses pendataan administratif dan pemeriksaan oleh instansi terkait.
Ia menyebut sebagian dari mereka memiliki dokumen paspor, namun belum mengantongi izin kerja resmi di Malaysia, sehingga tetap diklasifikasikan sebagai migran non-prosedural.
“Sebagian memiliki paspor, namun tidak memiliki izin kerja di Malaysia, sehingga tetap dikategorikan non-prosedural,” jelas Faridah dikutip dari RRI, Sabtu (10/5/2025).
Isu perdagangan orang di perbatasan Indonesia-Malaysia, khususnya di Nunukan, makin mengemuka seiring meningkatnya mobilitas masyarakat rentan tanpa pemahaman yang memadai soal migrasi aman.
Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah serta lembaga perlindungan sosial menjadi sangat penting untuk mengintervensi lebih awal sebelum korban terjebak lebih jauh dalam jaringan perdagangan manusia.
Faridah menyebutkan, pemulangan para korban akan difasilitasi oleh Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) dengan dukungan lintas instansi sosial.
“Pemulangan dilakukan melalui prosedur resmi agar korban tidak kembali menjadi sasaran jaringan TPPO,” jelasnya.
Pemerintah Kabupaten Nunukan sejauh ini telah mengaktifkan Satuan Tugas TPPO yang bertugas melakukan edukasi dan sosialisasi pencegahan hingga ke wilayah-wilayah pelosok.
Meski begitu, Faridah menekankan pentingnya keterlibatan lebih luas dari instansi pusat, terutama dalam pengawasan migrasi dan penegakan hukum.
“Kami hanya menangani dari sisi sosial, sementara sisi hukum dan migrasi ditangani instansi teknis lainnya,” jelas Faridah.
Sepanjang tahun 2025, pihak Dinsos P3A juga tercatat telah menangani sejumlah kasus korban perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO.
Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sindikat masih aktif merekrut korban dari kalangan kurang teredukasi, dengan modus menawarkan pekerjaan luar negeri yang menjanjikan namun menyesatkan.
Minimnya pemahaman soal prosedur migrasi resmi menjadi salah satu faktor utama yang dimanfaatkan para pelaku kejahatan ini.
Faridah menekankan perlunya kampanye migrasi aman hingga ke desa-desa dan kawasan kepulauan terpencil, agar masyarakat memiliki bekal informasi memadai sebelum memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.
Sosialisasi konsisten menjadi garda terdepan dalam upaya pencegahan TPPO.***