JAKARTA – Konflik terbuka antara Israel dan Iran memasuki babak baru setelah militer Israel melancarkan serangan udara ke wilayah Iran pada Jumat (13/6/2025).
Aksi ofensif ini langsung mengguncang kawasan, memicu keadaan darurat nasional di Israel dan memperburuk ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa serangan ini merupakan langkah pencegahan terhadap potensi ancaman dari Iran.
Media di Iran melaporkan sejumlah ledakan keras terjadi di Ibu Kota Teheran, disertai dengan aktifnya sistem pertahanan udara untuk mencegat rudal yang masuk.
“Setelah serangan pendahuluan Negara Israel terhadap Iran, serangan rudal dan pesawat nirawak terhadap Negara Israel dan penduduk sipilnya diperkirakan akan segera terjadi,” kata Katz.
Pemerintah Israel pun langsung memberlakukan status siaga tinggi di seluruh negeri.
Sebelum serangan ini terjadi, sejumlah pejabat tinggi di Amerika Serikat telah menerima informasi bahwa Israel akan segera mengambil tindakan militer terhadap Iran.
Hal tersebut menjadi dasar keputusan pemerintah AS untuk mengevakuasi staf diplomatiknya dari berbagai pos di Timur Tengah, khususnya Irak.
Pada Rabu lalu, Washington juga mengeluarkan peringatan kepada seluruh warga negaranya agar meninggalkan wilayah konflik potensial, mencerminkan kekhawatiran akan meluasnya dampak militer.
Pentagon bahkan telah memberikan izin bagi anggota keluarga personel militer di kawasan untuk pulang secara sukarela.
Meski situasi semakin genting, utusan Timur Tengah Presiden Trump, Steve Witkoff, tetap dijadwalkan bertemu dengan delegasi Iran dalam pertemuan keenam yang membahas masa depan program nuklir Teheran.
Saat berbicara di Kennedy Center, Trump mengingatkan warga Amerika tentang risiko yang meningkat.
“Karena itu bisa menjadi tempat yang berbahaya, dan kita akan lihat apa yang terjadi,” ujarnya. Ia juga menegaskan kembali sikap tegas AS soal nuklir Iran: “Kami tidak akan mengizinkannya.”
Dalam pernyataan terpisah, Menteri Pertahanan Iran Aziz Nasirzadeh menyatakan bahwa negaranya akan melakukan serangan balasan jika negosiasi nuklir gagal dan konfrontasi bersenjata tidak terelakkan.
“Dan konflik dipaksakan kepada kami, Korps Garda Revolusi Islam akan menargetkan seluruh pangkalan AS di negara tuan rumah,” katanya.
Ketegangan ini juga memicu peringatan dari Otoritas Perdagangan Maritim Inggris, yang meminta kapal-kapal untuk waspada saat melintasi Selat Hormuz, Teluk Persia, dan Teluk Oman, mengingat potensi eskalasi konflik di jalur perdagangan minyak utama dunia.
Sikap keras Trump terhadap Iran telah menjadi ciri utama kebijakan luar negerinya, terutama terkait pengayaan uranium oleh Teheran.
Meskipun negosiasi masih berlangsung, jalan menuju kesepakatan tampak rumit.
Iran bersikeras mempertahankan hak pengayaan nuklirnya, sementara AS bersikukuh untuk menghentikannya sepenuhnya. “Anda harus melihatnya sendiri,” ujar Trump ketika ditanya alasan pelonggaran bagi anggota keluarga militer di kawasan konflik.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sejak lama dikenal skeptis terhadap perjanjian nuklir Iran.
Menurut kantornya, Israel telah melakukan berbagai operasi terbuka dan rahasia guna menghambat kemampuan nuklir Iran.
Trump sendiri mengaku pernah meminta Netanyahu untuk menahan diri dari menyerang Iran karena khawatir akan mengganggu proses diplomasi.
“Saya katakan kepadanya bahwa ini tidak pantas dilakukan sekarang karena kita sudah sangat dekat dengan solusinya,” ujar Trump.
Iran berulang kali menyatakan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan damai.
Namun, laporan terbaru dari Badan Tenaga Atom Internasional menyebutkan bahwa Iran telah memperkaya 408,6 kilogram uranium hingga tingkat kemurnian 60%, mendekati ambang batas 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengungkapkan kekhawatiran mendalam di hadapan Kongres, “Ada banyak indikasi bahwa mereka [Iran] telah bergerak menuju sesuatu yang akan terlihat seperti senjata nuklir.”
Serangan Israel ke Iran menandai titik balik yang sangat serius dalam konflik berkepanjangan antara dua negara yang sejak Revolusi Iran 1979 terus berseteru.
Dampaknya bisa merembet lebih luas, tak hanya mengguncang Timur Tengah tetapi juga mengancam stabilitas global, khususnya di sektor energi dan keamanan internasional.***