TANGSEL – Konflik lahan antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya di Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, mencuat ke permukaan. Lahan seluas 127.780 meter persegi milik BMKG diduga telah dikuasai GRIB Jaya selama tiga tahun.
Akibat pendudukan tersebut menghambat rencana pembangunan gedung arsip. Sebelumnya, polisi telah bertindak tegas, menangkap 17 orang, termasuk 11 anggota GRIB Jaya dan enam pihak yang mengaku sebagai ahli waris.
Kronologi Sengketa dan Penertiban Lahan
Menurut Sekretaris Umum BMKG, Guswanto, lahan tersebut telah menjadi sengketa dalam waktu lama, namun aktivitas penguasaan oleh GRIB Jaya mulai masif dalam kurun dua hingga tiga tahun terakhir.
“Menguasai di sini sebenarnya sudah lama ya, tapi untuk kegiatan masifnya itu ada 2–3 tahunan lah,” ujar Guswanto usai penertiban lokasi pada Sabtu (25/5/2025).
Polda Metro Jaya menerima laporan dari BMKG pada 3 Februari 2025 terkait dugaan tindak pidana penguasaan lahan tanpa hak, penggelapan hak atas benda bergerak, hingga pengerusakan secara bersama-sama. Dalam operasi penertiban, polisi merobohkan posko GRIB Jaya yang berdiri di lahan tersebut dengan alat berat. Sebanyak 17 orang diamankan, termasuk Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) GRIB Jaya Tangsel, yang disebut sebagai “Sodara Y” oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.
Pemanfaatan Lahan untuk Aktivitas Komersial
Selama menguasai lahan, GRIB Jaya diduga memanfaatkannya untuk kegiatan komersial, seperti pasar malam hingga kontes kicau burung. Tak hanya itu, oknum anggota ormas ini juga dilaporkan melakukan pemungutan liar (pungli) terhadap pedagang lokal, termasuk pengusaha lele dan penjual hewan kurban, dengan total mencapai Rp22 juta.
“Mereka memberikan izin kepada beberapa pihak, beberapa pengusaha lokal,” ungkap Ade Ary.
Lahan tersebut juga menjadi tempat berdirinya bangunan semi-permanen, termasuk warung seafood dan kandang sapi untuk penjualan hewan kurban menjelang Idul Adha. Kondisi ini semakin memperumit sengketa, karena BMKG menyebut lahan tersebut sah milik negara berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 1/Pondok Betung Tahun 2003.
Bantahan GRIB Jaya: Membela Ahli Waris
GRIB Jaya membantah tuduhan penguasaan lahan secara sepihak. Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, Wilson Colling, menegaskan bahwa pihaknya hanya mendampingi ahli waris yang mengklaim lahan tersebut berdasarkan bukti kepemilikan berupa girik.
“GRIB Jaya tidak pernah menguasai lahan sebagaimana yang diberitakan,” tegas Wilson. Ia menuding laporan BMKG ke Polda Metro Jaya sebagai bentuk pembohongan publik untuk menghindari tanggung jawab terhadap ahli waris.
Wilson juga memaparkan kronologi sengketa, menyebut lahan tersebut awalnya adalah tanah turun-temurun milik ahli waris. Menurutnya, BMKG pernah mengajukan gugatan perdata pada 1980-an, namun kalah di berbagai tingkat pengadilan, termasuk Mahkamah Agung. Meski demikian, putusan Peninjauan Kembali (PK) pada 2007 mengabulkan sebagian klaim BMKG, tetapi tanpa perintah eksekusi lahan.
Tuntutan Rp5 Miliar dan Respons Polisi
Isu lain yang mencuat adalah dugaan GRIB Jaya meminta ganti rugi Rp5 miliar sebagai syarat menarik massa dari lahan tersebut. Namun, GRIB Jaya membantah keras tuduhan ini.
“Kami tidak akan mundur dalam membela rakyat kecil yang dizalimi oleh kekuasaan yang semena-mena,” kata Wilson, seraya meminta Polda Metro Jaya bersikap netral dan berpijak pada fakta hukum.
Polisi telah memasang plang penyelidikan di lokasi sejak Februari 2025 untuk menjaga status quo lahan. Penyelidikan masih berlangsung, dengan fokus pada enam terlapor, termasuk tiga anggota GRIB Jaya, yang diduga terlibat dalam penguasaan lahan dan pengerusakan pagar.
Dampak dan Langkah BMKG
Sengketa ini telah mengganggu rencana pembangunan gedung arsip BMKG yang dimulai sejak November 2023. BMKG telah melayangkan somasi dua kali kepada pihak terlapor, namun tidak mendapat respons. Plt Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Akhmad Taufan Maulana, menegaskan bahwa lahan tersebut milik negara dan pihaknya meminta bantuan aparat untuk menertibkan ormas yang diduga menyalahgunakan aset negara.
Polemik yang Belum Usai
Kasus ini menarik perhatian publik, terutama karena keterlibatan GRIB Jaya yang diketuai oleh Rosario de Marshall, atau lebih dikenal sebagai Hercules, mantan preman Tanah Abang yang kini menjadi pebisnis dan pendiri ormas tersebut pada 2011. Konflik lahan ini tidak hanya menyoroti sengketa kepemilikan, tetapi juga praktik premanisme dan pengelolaan aset negara yang masih menjadi tantangan di Indonesia.