JAKARTA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta berencana meniru langkah kota-kota besar dunia seperti Paris dan Bangkok dalam mengatasi polusi udara. Jakarta, yang saat ini memiliki 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU), akan menambah jumlahnya untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan intervensi dalam penanganan polusi.
Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan, “Belajar dari kota lain, Bangkok memiliki 1.000 SPKU, Paris memiliki 400 SPKU. Jakarta saat ini memiliki 111 SPKU dari sebelumnya hanya 5 unit. Ke depan, kita akan menambah jumlahnya agar bisa melakukan intervensi yang lebih cepat dan akurat.”
Asep menekankan pentingnya keterbukaan data untuk perbaikan kualitas udara yang lebih sistematis. “Penyampaian data polusi udara harus lebih terbuka agar intervensi bisa lebih efektif. Yang dibutuhkan bukan hanya intervensi sesaat, tetapi langkah-langkah berkelanjutan dan luar biasa,” tambahnya, dilansir dari Antara.
DLH DKI Jakarta juga menargetkan penambahan 1.000 sensor kualitas udara berbiaya rendah, dengan tujuan untuk memantau kualitas udara lebih luas dan akurat. Upaya ini diharapkan dapat mendeteksi sumber polusi dengan lebih jelas, termasuk kontribusi polutan dari luar Jakarta.
Di sisi lain, Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara BMKG, Taryono Hadi, mengungkapkan bahwa fenomena El Nino tidak terjadi secara global tahun ini. Hal ini mempengaruhi pola musim kemarau di Indonesia, yang diperkirakan akan mundur hingga akhir April dan mencapai puncaknya pada September.
Taryono menjelaskan, “Kami melihat adanya pergeseran pola musim kemarau tahun ini. Jika biasanya berlangsung lebih cepat, kini musim kemarau diperkirakan mulai lebih lambat dan puncaknya bergeser ke bulan September.”
Ia juga menyoroti peran curah hujan dalam mengurangi polusi udara, dengan mencatat bahwa pada bulan-bulan kering, kualitas udara Jakarta cenderung memburuk akibat peningkatan konsentrasi polutan, seperti PM2.5.
Profesor Puji Lestari, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa sebagian besar polusi udara di Jakarta berasal dari aktivitas industri di wilayah Jabodetabek. “Sektor industri, termasuk pembangkit listrik dan emisi karbon monoksida (CO), masih memberi kontribusi utama pencemaran udara, diikuti oleh emisi dari kendaraan penumpang,” ujarnya.
Menurut Prof. Puji, interaksi antara berbagai sumber pencemaran ini semakin kompleks, sehingga diperlukan koordinasi lintas wilayah dan pendekatan berbasis data terbuka untuk mencapai perbaikan signifikan dalam kualitas udara di Jakarta.