TANGSEL – Polda Metro Jaya mengamankan 17 orang yang diduga terlibat dalam aksi pendudukan lahan milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Penangkapan ini merupakan bagian dari operasi pemberantasan premanisme yang dilakukan pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Lahan seluas 12 hektare tersebut menjadi sengketa setelah ormas GRIB Jaya diduga menguasainya secara sepihak dan melakukan pungutan liar (pungli).
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa dari 17 orang yang ditangkap, 11 di antaranya merupakan anggota ormas GRIB Jaya, sementara enam lainnya mengaku sebagai ahli waris lahan tersebut.
“Ya, dalam kegiatan operasi preman ini, setidaknya kami telah mengamankan ada 17 orang, 11 di antaranya adalah oknum dari ormas GJ, kemudian enam di antaranya adalah ahli waris, yang mengaku sebagai ahli waris di tanah ini,” ujar Ade Ary kepada wartawan di lokasi kejadian.
Kronologi Kasus dan Aksi Pungli
Sengketa lahan ini bermula sejak Januari 2024, ketika BMKG melaporkan adanya gangguan terhadap rencana pembangunan gedung arsip di lahan seluas 127.780 meter persegi tersebut. Ormas GRIB Jaya diduga tidak hanya menduduki lahan, tetapi juga mendirikan posko dan memanfaatkannya untuk kepentingan komersial, termasuk meminta tebusan Rp5 miliar kepada BMKG sebagai syarat penarikan anggota mereka dari lokasi.
Polda Metro Jaya menerima laporan resmi dari BMKG pada 3 Februari 2025, dengan tuduhan pelanggaran Pasal 167 KUHP (memasuki pekarangan tanpa izin), Pasal 385 KUHP (penggelapan hak atas barang tidak bergerak), dan Pasal 170 KUHP (kekerasan secara bersama-sama di muka umum).
“Laporan terkait dugaan tindak pidana menguasai lahan tanpa hak, dugaan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, dan dugaan tindak pidana kekerasan secara bersama-sama di muka umum terhadap orang dan barang,” kata Ade Ary.
Penertiban dan Pembongkaran Posko
Sebagai tindak lanjut, polisi bersama BMKG melakukan penertiban di lokasi. Posko yang didirikan GRIB Jaya dibongkar menggunakan ekskavator pada Sabtu, 24 Mei 2025. Sebelumnya, polisi telah memasang plang bertuliskan “Tanah ini sedang dalam proses penyelidikan oleh penyidik Subdit 2 Ditreskrimum Polda Metro Jaya” untuk menjaga status quo tempat kejadian perkara (TKP).
Menurut laporan, pendudukan lahan ini telah berlangsung hampir dua tahun dan menghambat proyek pembangunan gedung arsip BMKG, yang penting untuk menyimpan dokumen resmi guna mendukung audit, investigasi, dan keterbukaan informasi publik.
Tanggapan Pemerintah dan DPR
Kasus ini turut menjadi perhatian pemerintah dan DPR. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan akan berkoordinasi dengan BMKG dan Polda Metro Jaya untuk memverifikasi status lahan tersebut.
“Ini kita sayangkan, karena itu kita akan koordinasi dengan pihak Polda Metro Jaya juga dan pihak BMKG,” ujar Nusron.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah dalam polemik ini. Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo bahkan meminta polisi untuk bertindak tegas.
“Tangkap dan tahan,” tegasnya, merujuk pada dugaan intimidasi dan pemerasan oleh ormas tersebut.
Klaim Ahli Waris dan Bantahan GRIB Jaya
Di sisi lain, GRIB Jaya mengklaim lahan tersebut milik ahli waris berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pdt/2020 dan kepemilikan girik asli. Mereka memasang spanduk bertuliskan “Tanah Ini Milik Ahli Waris” di lokasi. Namun, Ketua Pengadilan Negeri Tangerang telah menyatakan bahwa putusan tersebut tidak memerlukan eksekusi, sebuah penjelasan yang ditolak oleh GRIB Jaya.
GRIB Jaya juga membantah tuduhan menerima uang Rp5 miliar terkait sengketa ini, sebagaimana dilaporkan BBC News Indonesia.
Upaya Penyelesaian dan Langkah Hukum
Polda Metro Jaya menegaskan bahwa kasus ini akan diusut tuntas sebagai bagian dari operasi pemberantasan premanisme. Ade Ary meminta waktu untuk mendalami kasus ini, dengan fokus pada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. BMKG sendiri telah mencoba pendekatan persuasif sebelum melapor, termasuk koordinasi dengan RT, RW, kecamatan, hingga kepolisian, namun tidak membuahkan hasil.