JAKARTA – Setidaknya 60 warga Palestina dilaporkan tewas dalam serangan militer Israel di Jalur Gaza pada Kamis (15/5/2025), menurut keterangan tenaga medis setempat. Serangan ini terjadi di tengah upaya mediasi internasional untuk mendorong kesepakatan gencatan senjata, seiring kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke Timur Tengah.
Sebagian besar korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan udara di Khan Younis, Gaza selatan. Serangan menghantam rumah-rumah dan tenda-tenda pengungsi. Hingga berita ini diturunkan, militer Israel belum memberikan pernyataan resmi.
Militer Israel belakangan meningkatkan intensitas serangan ke Gaza dengan tujuan menghancurkan Hamas sebagai respons atas serangan mematikan kelompok militan Palestina tersebut ke wilayah Israel pada tahun 2023.
Di tengah berlangsungnya negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas yang dimediasi oleh utusan Trump serta perwakilan Qatar dan Mesir di Doha, Hamas menyebut langkah militer Israel sebagai upaya “putus asa” untuk menekan perundingan.
“Israel melakukan upaya putus asa untuk bernegosiasi di bawah bayang-bayang tembakan,” demikian pernyataan resmi Hamas, dikutip dari Reuters.
Serangan terbaru Israel juga bertepatan dengan peringatan “Nakba” oleh warga Palestina—momen ketika ratusan ribu warga Palestina mengungsi atau diusir dari kampung halaman mereka saat perang Arab-Israel 1948 yang berujung pada berdirinya negara Israel.
Dengan sekitar 2,3 juta warga Gaza saat ini hidup sebagai pengungsi internal, sebagian dari mereka mengaku penderitaan yang mereka alami kini melebihi masa Nakba.
“Apa yang kami alami sekarang bahkan lebih buruk daripada Nakba 1948,” ujar Ahmed Hamad, seorang warga Gaza City yang telah beberapa kali mengungsi.
“Kenyataannya, kami hidup dalam kondisi kekerasan dan pengungsian yang terus-menerus. Ke mana pun kami pergi, kami diserang. Kematian mengelilingi kami di mana-mana.”
Kekerasan yang Terus Meningkat
Menurut pejabat kesehatan Palestina, serangan udara Israel terus meningkat sejak Trump memulai lawatannya ke negara-negara Teluk—Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab—pada Selasa lalu. Banyak warga berharap kunjungan itu akan membawa angin segar bagi upaya gencatan senjata.
Serangan pada hari sebelumnya, Rabu, juga menewaskan sedikitnya 80 orang, kata pejabat kesehatan lokal.
Negosiasi gencatan senjata yang digagas AS bersama mediator Qatar dan Mesir sejauh ini belum membuahkan hasil signifikan. Hamas menyatakan siap membebaskan seluruh sandera yang masih ditahan di Gaza jika perang dihentikan. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu hanya menginginkan gencatan senjata sementara, dan bersikukuh bahwa perang akan berakhir bila Hamas sepenuhnya dihancurkan.
“Pada saat para mediator melakukan upaya intensif untuk mengembalikan jalannya negosiasi, penjajah Zionis (Israel) justru merespons dengan tekanan militer terhadap warga sipil tak berdosa,” kata Hamas dalam pernyataannya.
“Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginginkan perang tanpa akhir dan tidak peduli terhadap nasib para sandera,” tambahnya.
Israel melancarkan invasi ke Gaza setelah serangan Hamas ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan 251 orang diculik ke Gaza, menurut data otoritas Israel.
Sejak saat itu, lebih dari 52.900 warga Palestina dilaporkan tewas akibat kampanye militer Israel, menurut pejabat kesehatan setempat. Krisis kemanusiaan di Gaza pun semakin parah, dengan wilayah tersebut berada di ambang kelaparan, menurut kelompok bantuan dan lembaga internasional.
Sebuah organisasi kemanusiaan yang didukung AS dijadwalkan mulai menyalurkan bantuan di Gaza akhir Mei ini. Namun, mereka meminta Israel untuk mengizinkan PBB dan organisasi lain kembali mendistribusikan bantuan segera, mengingat situasi yang semakin mendesak.
Hingga kini, tidak ada bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza sejak 2 Maret. Laporan pemantau kelaparan global memperingatkan bahwa setengah juta warga Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan ekstrem.