JAKARTA – Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Hakim Djuyamto, yang kini menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengaturan vonis perkara korupsi crude palm oil (CPO), sempat menitipkan sebuah tas kepada petugas keamanan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tas tersebut ternyata berisi uang tunai dalam jumlah besar. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa tas itu mengandung berbagai barang berharga.
“Ada uang dalam bentuk rupiah Rp48.750.000 dan asing 39.000 SGD, cincin bermata hijau,” ujar Harli kepada wartawan pada Kamis (17/4/2025).
Jika dikonversi ke dalam kurs rupiah, total nilai isi tas itu mencapai sekitar Rp549.978.000. Harli memastikan bahwa tas tersebut telah diamankan penyidik.
“Sudah disita dan dibuat Berita Acara Penyitaannya,” katanya.
Sejauh ini, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka dalam perkara tersebut. Dari pihak pemberi suap, terdapat dua pengacara yakni Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso, serta satu perwakilan legal dari Wilmar Group, Muhammad Syafei. Ketiganya diduga memberikan suap agar tiga korporasi—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—dapat memperoleh vonis bebas.
Sementara itu, dari pihak penerima suap, tersangka meliputi mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, mantan Panitera Muda Wahyu Gunawan, serta tiga hakim: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.
Arif Nuryanta disebut menerima suap sebesar Rp60 miliar dari Ariyanto dan Marcella. Dana tersebut diduga berasal dari Wilmar Group dan disalurkan melalui Wahyu Gunawan, yang kemudian mendapat imbalan sebesar USD 50 ribu sebagai perantara.
Arif kemudian menyusun majelis hakim yang akan menangani perkara CPO dan membagikan suap kepada mereka dalam dua tahap: Rp4,5 miliar sebagai “uang baca berkas” dan Rp18 miliar sebagai imbalan untuk memvonis lepas para terdakwa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan dari Hakim Djuyamto terkait penitipan tas tersebut.