WASHINGTON – Dari momen pertamanya di balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV langsung memberikan tiga petunjuk penting mengenai arah kepemimpinannya atas Gereja Katolik yang beranggotakan 1,4 miliar umat.
Leo XIV, yang sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Robert Prevost dari Amerika Serikat, terpilih sebagai paus baru pada hari Kamis (8/5/2025) dalam hari kedua konklaf, menggantikan Paus Fransiskus yang wafat bulan lalu.
Petunjuk pertama datang dari pilihan nama yang diambilnya. Dalam tradisi kepausan, nama yang dipilih sering kali mencerminkan visi dan prioritas sang paus.
Fransiskus, misalnya, memilih nama dari Santo Fransiskus dari Assisi abad ke-13, yang dikenal karena meninggalkan kekayaan dan mendedikasikan hidupnya bagi kaum miskin.
Nama Leo terakhir kali dipakai oleh Leo XIII (1878–1903), yang selama masa kepausannya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh, termasuk upah yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, dan hak untuk berserikat.
“Dengan memilih nama Leo XIV, ia menunjukkan komitmennya terhadap ajaran sosial Gereja,” kata Pastor Thomas Reese, seorang komentator dari Ordo Jesuit yang dikenal sebagai pengamat kepausan, dilansir dari Reuters.
Petunjuk kedua muncul dari pilihan bahasa dan isi pidatonya, yang menekankan pentingnya perdamaian—tema yang juga menjadi perhatian besar Paus Fransiskus.
Dalam pidato publik pertamanya kepada umat yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Leo berbicara dalam bahasa Italia—bahasa resmi Takhta Suci—dan menyisipkan sedikit bahasa Spanyol untuk menyapa komunitas lamanya di Peru. Tidak ada bagian pidato yang disampaikan dalam bahasa Inggris.
“La pace sia con tutti voi!” (Damai sejahtera bagi kalian semua!), adalah kalimat pertama yang ia ucapkan di hadapan publik. Ucapan tersebut bukan hanya sapaan liturgis khas umat Katolik, tetapi juga merupakan pesan perdamaian yang relevan di tengah dunia yang dilanda konflik.
Sebelum konklaf dimulai pada 7 Mei, para kardinal dunia merilis pernyataan yang menyayangkan berbagai konflik seperti di Ukraina, Timur Tengah, dan wilayah lain, serta menyampaikan “seruan tulus” bagi terwujudnya perdamaian.
Paus Leo menyampaikan bahwa ia ingin membagikan damai Tuhan, yang ia sebut sebagai “damai yang melucuti senjata dan melucuti hati,” serta “damai yang rendah hati dan penuh ketekunan.”
Ia juga mengenang Paus Fransiskus, yang memberikan berkat terakhirnya pada Minggu Paskah sebelum wafat karena stroke setelah berjuang melawan pneumonia ganda.
“Kita masih mendengar dalam ingatan suara lemah, tetapi selalu berani, dari Paus Fransiskus,” ujarnya.
Leo meminta izin untuk memberikan berkat yang sama seperti yang pernah disampaikan Fransiskus: “Tuhan mengasihi kita, Tuhan mengasihi semua orang, dan kejahatan tidak akan menang. Kita berada di tangan Tuhan.”
Petunjuk ketiga hadir melalui pilihan busana. Berbeda dari Fransiskus yang menolak simbol kemewahan kepausan saat pertama kali terpilih pada 2013, Leo memilih mengenakan jubah merah tradisional di atas kasula putihnya.
Meski mengikuti jejak Fransiskus, penampilan dan gestur Leo menunjukkan bahwa ia akan menjadi paus yang baru—dan berbeda.