JAKARTA – Asosiasi gabungan pengusaha mengapresiasi langkah pemerintah yang membatasi pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang mewah.
Keputusan ini dianggap menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta dunia usaha.
Kelompok asosiasi tersebut meliputi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), APREGINDO, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
“Kami mengapresiasi kebijakan ini karena mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta pelaku usaha,” kata Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri APINDO sekaligus Ketua Umum APREGINDO, Handaka Santosa, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang super mewah yang dikonsumsi masyarakat kelas atas.
Langkah ini dinilai mampu menjaga daya beli masyarakat, mendorong konsumsi rumah tangga, dan memberikan kepastian serta keadilan bagi dunia usaha.
“Kebijakan yang terukur ini tidak hanya mendorong daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri di tengah tantangan ekonomi global,” tambah Handaka.
Pemerintah juga memberikan masa transisi selama tiga bulan untuk mempersiapkan penerapan kebijakan tersebut, yang dinilai sebagai langkah bijak.
Sosialisasi teknis yang direncanakan pemerintah bersama asosiasi sektoral diharapkan dapat memastikan implementasi berjalan lancar.
APINDO dan asosiasi lainnya menyatakan dukungan terhadap kebijakan ini, percaya bahwa dialog erat dengan pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, meningkatkan daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Sebagai tindak lanjut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025.
Aturan ini memberikan waktu tiga bulan, dari 1 Januari hingga 31 Maret 2025, bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan sistem administrasi faktur pajak.
Dalam masa transisi, faktur pajak dengan tarif PPN 11 persen maupun 12 persen atas barang non-mewah dianggap sah dan tidak dikenai sanksi.
Jika terjadi kelebihan pungutan PPN sebesar 1 persen pada barang non-mewah, pembeli dapat meminta pengembalian kepada penjual, yang kemudian mengganti faktur pajak untuk memproses pengembalian tersebut.